Jumat, 17 Februari 2017

BAB SHALAT SUNNAH



BAB SHALAT SUNNAH
1.         SHOLAT SUNAH RAWATIB DHUHUR DENGAN SATU KALI SALAM
Denger dari orang katanya kobliah atau ba,diah boleh 4 rokaat.bolehkah solat ba'diah atau kobliah dzuhur 4 rokaat dengan satu kali salam?
Jawaban : Boleh, afdhalnya dua rakaat salam
&   حاشية الجمل (4/  291) مكتبة الشاملة
 وَفِي فَتَاوَى النَّوَوِيِّ أَنَّ الْأَفْضَلَ فِي الْأَرْبَعِ قَبْلَ الظُّهْرِ وَبَعْدَهَا أَنْ يُصَلِّيَهَا بِتَشَهُّدَيْنِ وَيَجُوزُ بِتَشَهُّدٍ
2.         MENGGABUNG SUNNAH QOBLIYAH DAN BA'DIYAH JADI SEKALI SALAM
1. Bolehkah sholat sunnah qobliyah & badiyah digabung menjadi 1x salam.?
2. Bolehkan dilakukannya sblm sholat fardhu ?    
Jawaban :
- Tidak sah menurut Imam Ibnu Hajar
- Sah menurut Imam Ramli
&   كتاب إثمد العينين في بعض اختلاف الشيخين (ص: 30) مكتبة الشاملة
. [مسألة]: لو أخر قبلية فرض لما بعده ثم جمعها مع راتبته البعدية في إحرام واحد لم يصح عند (حج) وصح عند (م ر) لا سنة ظهر وعصر مثلاً
3.         MENGQODOK SHALAT SUNNAH
Apakah boleh mengqodlo shalat tahajjud yang tertinggal karena ketiduran misalnya ?
Jawaban : boleh bahkan sunnah dengan catatan SHOLAT TERSEBUT SUDAH MENJADI RUTINITAS SEHARI-SEHARI
&   فتح المعين مع اعانةالطالبين (1/  121) فوستاكا السلام سورابايا
لا ما له سبب متقدم كركعتي وضوء وطواف وتحية وكسوف، وصلاة جنازة ولو على غائب، وإعادة مع جماعة ولو إماما، وكفائتة فرض أو نفل لم يقصد تأخيرها للوقت المكروه ليقضيها فيه أو يداوم عليه.فلو تحرى إيقاع صلاة غير صاحبة الوقت في الوقت المكروه من حيث كونه مكروها فتحرم مطلقا ولا تنعقد، ولو فائتة يجب قضاؤها فورا لانه معاند للشرع

4.         SHALAT REBO WEKASAN
Apa hukumnya melakukan shalat rebo wekasan yang biasa dilakukan setiap hari rabu akhir bulan safar  ? soal-nya kata kaum wahabi termasuk amailah bid’ah dolalah ! (saat sawir i’anah bersama santri putra)
Jawaban : Hari Rabu yang disebutkan dalam keterangan di atas disebut dengan Rebo Wekasan. Persoalannya, sejauh manakah legitimasi agama, atau pengakuan agama Islam terhadap Rebo Wekasan seperti dalam keterangan Kitab Mujarrabat al-Dairabi al-Kabir ? Menjawab pertanyaan ini, ada beberapa hal yang perlu kita bahas.
Pertama, pernyataan sebagian orang-orang yang ma’rifat tersebut, atau dalam kata lain sebagian waliyullah (kekasih Allah), dalam kacamata agama disebut dengan ilham. Para ulama ushul fiqih mendefinisikan ilham dengan, pikiran hati yang datang dari Allah. Berkaitan dengan hal ini, Syaikh Ibnu Taimiyah, ulama panutan utama kaum Wahabi berkata dalam al-‘Aqidah al-Wasithiyyah:
ومن أصول أهل السنة : التصديق بكرامات الأولياء وما يجري الله على أيديهم من خوارق العادات في أنواع العلوم والمكاشفات( العاقدات الواسطية)
“Di antara prinsip Ahlussunnah adalah mempercayai karamah para wali dan apa yang dijalankan oleh Allah melalui tangan-tangan mereka berupa perkara yang menyalahi adat dalam berbagai macam ilmu pengetahuan dan mukasyafah.”
Pernyataan Syaikh Ibnu Taimiyah di atas, mengharuskan kita mengakui adanya berbagai macam ilmu pengetahuan dan mukasyafah yang diberikan oleh Allah kepada para wali. Dengan demikian, dalam perspektif agama, ilham maupun mukasyafah sebagian wali Allah di atas tentang berbagai macam malapetaka yang diturunkan pada hari Rabu terakhir bulan Shafar, menemukan legitimasinya (pernyataan yang sah) dalam akidah Islam.

Kedua, mayoritas ulama berpendapat bahwa ilham tidak dapat menjadi dasar hukum Islam (wajib, sunnah, makruh, mubah dan haram). Ilham yang dikemukakan dalam Mujarrabat al-Dairabi al-Kabir di atas, tidak dalam rangka menghukumi sesuatu dalam perspektif (sudut pandang) Islam. Ilham di atas hanya informasi perkara ghaib tentang turunnya malapetaka pada hari Rabu terakhir di bulan Shafar. Dengan demikian, ilham tersebut tidak berkaitan dengan hukum, tetapi berkaitan dengan informasi perkara ghaib yang biasa terjadi kepada para wali Allah, seperti dikemukakan oleh Syaikh Ibnu Taimiyah di atas.

Ketiga, dalam ilmu tashawuf, ilham maupun mukasyafah seorang wali tidak boleh dipercaya dan diamalkan, sebelum dikomparasikan (dibandingkan) dengan dalil-dalil al-Qur’an dan Sunnah. Apabila ilham dan mukasyafah tersebut sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah, maka dipastikan benar. Akan tetapi apabila ilham dan mukasyafah tersebut bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah, maka itu jelas salah dan harus ditinggalkan jauh-jauh. Kaitannya dengan ilham atau mukasyafah Rebo Wekasan yang diterangkan dalam Mujarrabat al-Dairabi al-Kabir di atas, ada dasar yang menguatkannya. Rasulullah saw bersabda:
عن ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: آخِرُ أَرْبِعَاءَ فِي الشَّهْرِ يَوْمُ نَحْسٍ مُسْتَمِرٍّ. رواه وكيع في الغرر، وابن مردويه في التفسير، والخطيب البغدادي. (الإمام الحافظ جلال الدين السيوطي، الجامع الصغير في أحاديث البشير النذير، ١/٤، والحافظ أحمد بن الصديق الغماري، المداوي لعلل الجامع الصغير وشرحي المناوي، ١/۲٣).
“Dari Ibn Abbas RA, Nabi SAW bersabda: “Rabu terakhir dalam sebulan adalah hari terjadinya sial terus.” HR. Waki’ dalam al-Ghurar, Ibn Mardawaih dalam al-Tafsir dan al-Khathib al-Baghdadi. (Al-Hafizh Jalaluddin al-Suyuthi, al-Jami’ al-Shaghir, juz 1, hal. 4, dan al-Hafizh Ahmad bin al-Shiddiq al-Ghumari, al-Mudawi li-‘Ilal al-Jami’ al-Shaghir wa Syarhai al-Munawi, juz 1, hal. 23).
Hadits di atas kedudukannya dha’if (lemah). Tetapi meskipun hadits tersebut lemah, posisinya tidak dalam menjelaskan suatu hukum, tetapi berkaitan dengan bab targhib dan tarhib (anjuran dan peringatan), yang disepakati otoritasnya di kalangan ahli hadits sejak generasi salaf. Ingat, bahwa yang menolak otoritas hadits dha’if secara mutlak, bukan ulama ahli hadits, akan tetapi kaum Wahabi abad modern yang dipelopori oleh Syaikh al-Albani.
Dalam hadits tersebut dinyatakan bahwa hari Rabu terakhir dalam setiap bulan adalah hari datangnya sial terus.
Keempat, berkaitan dengan bulan Shafar, Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya sebagai berikut ini:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم: قَالَ لَا عَدْوَى وَلَا صَفَرَ وَلَا هَامَةَ. رواه البخاري ومسلم.
“Dari Abu Hurairah RARasulullah SAW bersabda: “Tidak ada penyakit menular. Tidak ada kepercayaan datangnya sial dari bulan Shafar. Tidak ada kepercayaan bahwa orang mati, rohnya menjadi burung yang terbang.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Dalam menafsirkan kalimat “walaa shafar” dalam hadits di atas, al-Imam al-Hafizh al-Hujjah Ibn Rajab al-Hanbali, ulama salafi dan murid terbaik Syaikh Ibn Qayyim al-Jauziyah, berkata sebagai berikut:
أَنَّ الْمُرَادَ أَنَّ أَهْلَ الْجَاهِلِيَّةِ كَانُوْا يَسْتَشْئِمُوْنَ بِصَفَر وَيَقُوْلُوْنَ: إِنَّهُ شَهْرٌ مَشْئُوْمٌ، فَأَبْطَلَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم ذَلِكَ، وَهَذَا حَكَاهُ أَبُوْ دَاوُودَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ رَاشِدٍ الْمَكْحُوْلِيِّ عَمَّنْ سَمِعَهُ يَقُوْلُ ذَلِكَ، وَلَعَلَّ هَذَا الْقَوْلَ أَشْبَهُ اْلأَقْوَالِ، وَ كَثِيْرٌ مِنَ الْجُهَّالِ يَتَشَاءَمُ بِصَفَر، وَ رُبَّمَا يَنْهَى عَنِ السَّفَرِ فِيْهِ، وَ التَّشَاؤُمُ بِصَفَر هُوَ مِنْ جِنْسِ الطِّيَرَةِ الْمَنْهِيِّ عَنْهَا. (الإمام الحافظ الحجة زين الدين ابن رجب الحنبلي، لطائف المعارف، ص/١٤٨).
“Maksud hadits di atas, orang-orang Jahiliyah meyakini datangnya sial dengan bulan Shafar. Mereka berkata, Shafar adalah bulan sial. Maka Nabi SAW membatalkan hal tersebut. Pendapat ini diceritakan oleh Abu Dawud dari Muhammad bin Rasyid al-Makhuli dari orang yang mendengarnya berpendapat demikian. Barangkali pendapat ini yang paling benar. Banyak orang awam yang meyakini datangnya sial pada bulan Shafar, dan terkadang melarang bepergian pada bulan itu. Meyakini datangnya sial dengan bulan Shafar termasuk jenis thiyarah (meyakini adanya pertanda buruk) yang dilarang.” (Al-Imam al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali, Lathaif al-Ma’arif, hal. 148).

Kelima, dalam hadits sebelumnya dinyatakan bahwa, Rabu terakhir setiap bulan adalah hari datangnya sial. Sementara dalam hadits berikutnya, membatalkan tradisi Jahiliyah yang merasa memperoleh ketidak beruntungan pada bulan Shafar. Dari sini, Rabu terakhir di bulan Shafar disebut dengan Rebo Wekasan. Hal ini agaknya melegitimasi (mengesahkan atau membenarkan) ilham atau mukasyafah sebagian wali Allah di atas tentang turunnya berbagai malapetaka di bulan Shafar.

Keenam, terkait dengan amaliah shalat 4 rakaat di atas bagaimana posisi hukumnya? Secara fiqih, shalat tersebut tidak mungkin dikatakan sebagai Shalat Sunnat Rebo Wekasan, karena dalilnya tidak ada. Tetapi melakukan shalat tersebut, tentunya boleh-boleh saja dengan cara di-niati shalat sunnah mutlak, dengan harapan terhindari dari berbagai malapetaka. Dalam konteks ini al-Imam al-Hafizh al-Hujjah Zainuddin Ibn Rajab al-Hanbali, ulama salafi dan murid terbaik Syaikh Ibn Qayyim al-Jauziyah, berkata dalam kitabnya, Lathaif al-Ma’arif:
وَالْبَحْثُ عَنْ أَسْبَابِ الشَّرِّ مِنَ النَّظَرِ فِي النُّجُوْمِ وَنَحْوِهَا مِنَ الطِّيَرَةِ الْمَنْهِيِّ عَنْهَا، وَالْبَاحِثُوْنَ عَنْ ذَلِكَ غَالِبًا لَا يَشْتَغِلُوْنَ بِمَا يَدْفَعُ الْبَلَاءَ مِنَ الطَّاعَاتِ، بَلْ يَأْمُرُوْنَ بِلُزُوْمِ الْمَنْزِلِ وَتَرْكِ الْحَرَكَةِ، وَهَذَا لاَ يَمْنَعُ نُفُوْذَ الْقَضَاءِ وَالْقَدَرِ، وَمِنْهُمْ مَنْ يَشْتَغِلُ بِالْمَعَاصِيْ، وَهَذَا مِمَّا يُقَوِّيْ وُقُوْعَ الْبَلاَءِ وَنُفُوْذَهُ، وَالَّذِيْ جَاءَتْ بِهِ الشَّرِيْعَةُ هُوَ تَرْكُ الْبَحْثِ عَنْ ذَلِكَ وَاْلإِعْرَاضُ عَنْهُ وَاْلإِشْتِغَالُ بِمَا يَدْفَعُ الْبَلاَءَ مِنَ الدُّعَاءِ وَالذِّكْرِ وَالصَّدَقَةِ وَتَحْقِيْقِ التَّوَكُّلِ عَلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَاْلإِيْمَانِ بِقَضَائِهِ وَقَدَرِهِ. (الإمام الحافظ الحجة زين الدين ابن رجب الحنبلي، لطائف المعارف، ص/١٤٣).
“Meneliti sebab-sebab keburukan seperti melihat perbintangan dan semacamnya termasuk thiyarah yang dilarang. Orang-orang yang meneliti hal tersebut biasanya tidak menyibukkan diri dengan amal-amal baik yang dapat menolak balak, bahkan mereka memerintahkan agar tidak meninggalkan rumah dan tidak bekerja. Ini jelas tidak mencegah terjadinya keputusan dan ketentuan Allah. Di antara mereka ada yang menyibukkan dirinya dengan perbuatan maksiat. Hal ini jelas memperkuat terjadinya malapetaka. Ajaran yang dibawa oleh syari’at adalah tidak meneliti hal tersebut, berpaling darinya, dan menyibukkan diri dengan amal-amal yang dapat menolak balak seperti berdoa, berdzikir, bersedekah, memantapkan tawakal kepada Allah SWT dan beriman kepada keputusan dan ketentuan Allah SWT.” (Ibn Rajab, Lathaif al-Ma’arif, hal. 143). Wallahu a’lam. 
&   أقوال ابن تيمية وبعض تلامذته في التصوف (ص: 31)
قال ابن تيمية في مجموع الفتاوي"3/ 156" قال "ومن أصول أهل السنة: التصديق بكرامات الأولياء وما يجري الله على أيديهم من خوارق العادات في أنواع العلوم والمكاشفات، وأنواع القدرة والتأثيرات ... "اهـ
&   كتاب الجواهر الخمس 50-51
وَقَالَ الْعَلَّامَةُ الشَّيْخُ الدَّيْرَبِيُّ فِيْ مُجَرَّبَاتِهِ ذَكَرَ بَعْضُ الْعَارِفِيْنَ مِنْ أَهْلِ الْكَشْفِ وَالتَّمْكِيْنِ أَنَّهُ يَنْزِلُ فِيْ كُلِّ سَنَةٍ ثَلَاثُمِائَةِ أَلْفِ بَلِيَّةٍ وَعِشْرُوْنَ أَلْفًا مِنَ الْبَلِيَّاتِ، وَكُلُّ ذَلِكَ فِيْ يَوْمِ الْأَرْبِعَاءِ الْأَخِيْرِ مِنْ صَفَرَ؛ فَيَكُوْنُ ذَلِكَ الْيَوْمُ أَصْعَبَ أَيَّامِ السَّنَةِ؛ فَمَنْ صَلَّى فِيْ ذَلِكَ الْيَوْمِ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ، يَقْرَأُ فِيْ كُلِّ رَكْعَةٍ مِنْهَا بَعْدَ الْفَاتِحَةِ سُوْرَةَ (إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ) سَبْعَ عَشْرَةَ مَرَّةً وَالْإِخْلَاصِ خَمْسَ مَرَّاتٍ، وَالْمُعَوِّذَتَيْنِ مَرَّةً مَرَّةً، وَيَدْعُوْ بَعْدَ السَّلَامِ بِهَذَا الدُّعَاءِ حَفِظَهُ اللهُ تَعَالَى بِكَرَمِهِ مِنْ جَمِيْعِ الْبَلَايَا الَّتِيْ تَنْزِلُ فِيْ ذَلِكَ الْيَوْمِ، وَلَمْ تَحُمْ حَوْلَهُ بَلِيَّةٌ مِنْ تِلْكَ الْبَلَايَا إِلَى تَمَامِ السَّنَةِوَالدُّعَاءُ الْمُعَظَّمُ هُوَ بِسْــمِ اللهِ الرَّحْمن الرَّحِيْمِ وَصَلَّى اللهُ تَعَالَى عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ، اَللّـهُمَّ يَا شَدِيْدَ الْقُوى ، وَيَا شَدِيْدَ الْمِحَالِ ، يَا عَزِيْزُ ، يَا مَنْ ذَلَّتْ لِعِزَّتِكَ جَمِيْعُ خَلْقِكَ ، اِكْفِـنِيْ مِنْ شَرِّ جَمِيْعِ خَلْقِكَ ، يَا مُحْسِنُ ، يَا مُجَمِّلُ ، يَا مُتَفَضِّلُ ، يَا مُنْعِمُ ، يَا مُتَكَرِّمُ، يَا مَنْ لآَ إِلـهَ إِلاَّ أَنْتَ ، اِرْحَمْنِيْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَاَللّـهُمَّ بِسِرِّ الْحَسَنِ وَأَخِيْهِ وَجَدِّهِ وَأَبِـيْهِ وَأُمِّـهِ وَبَنِيْـهِ اِكْفِـنِيْ شَرَّ هذَا الْيَوْمِ وَمَا يَنْزِلُ فِيْهِ . يَا كَافِيْ (فَسَـيَكْفِيْـكَهُمُ اللهُ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ) ، وَحَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِوَصَلَّى اللهُ تَعَالَى عَلى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلى آلِـهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ
&   حواشي الشرواني (ج 2 / ص 238)
ووقع فى عوارف المعارف للإمام السهروردي أن من جلس بعد الصبح يذكر الله إلى طلوع الشمس وارتفاعها كرمح يصلى بعد ذلك ركعتين بنية الاستعاذة بالله من شر يومه وليلته ثم ركعتين بنية الاستخارة لكل عمل يعمل فى يومه وليلته قال : وهذه بمعنى الدعاء على الاطلاق وإلاّ فالاستخارة التي وردت بها الأخبار هي التى يفعلها أمام كل أمر يريده. إهــ وهذا عجيب منه مع إمامته فى الفقه أيضا وكيف راج عليه صحة وحل صلاة بنية مخترعة لم يرد لها أصل فى السنة ومن استحضر كلامهم فى رد صلوات ذكرت فى أيام الأسبوع علم أنه لا تجوز ولاتصح هذه الصلوات بتلك النيات التي استحسنها الصوفية من غير أن يرد لها أصل فى السنة نعم إن نوى مطلق الصلاة ثم دعا بعدها بما يتضمن نحو استعاذة أو استخارة مطلقة لم يكن بذلك بأس. (نعم إن نوى مطلق الصلاة  إلخ) الظاهر أنه مراد الشيخ المذكور فمراده بقوله نية كذا بيان أن ذلك لامر باعث على فعل الصلاة المذكورة لا النية المرادة للفقهاء المقترنة بالتكبير وحمل كلامه عليه أولى من التشنيع ويعضد هذا الاستحسان منهم ما صح عنه (ص) من تقديم الصلاة عند عروض أمر يستدعي الدعاء بصري.

5.         Pelaksanaan Shalat Witir
Ada paham bahwa sholat witir tiga rokaat, kalau rokaat kedua tidak disambung dengan rokaat ketiga, bukan solat witir namanya. Karena kalau disambung, jadi tiga rokaat ganjil; kalau dipisah dengan salam pada rokaat kedua jadi tidak ganjil. Ada pula dengan rokaat pertama berdiri, rokaat kedua berdiri lagi tanpa duduk tasyahud langsung disambung dengan rokaat ketiga, kemudian salam.
a.       Manakah yang benar?
b.      Bagaimana hukum sholat witir menurut paham ulama madzhab empat?
c.       Bolehkah beribadah dengan memakai madzhab campuran?
d.      Selanjutnya mana yang lebih baik kami kerjakan sholat witir tiga rokaat yang disambung rokaatnya yang sudah sejak lama turun-temurun?
Jawaban
a.       Semua cara tersebut benar
b.      Sholat witir menurut Imam Syafi'i, Ahmad Ibn Hanbal dan Maliki hukumnya adalah sunnah muakkadah sementara menurut Imam Abu Hanifah hukumnya wajib.
c.       Beribadah dengan menggunakan madzhab campuran hukumnya tidak boleh
d.      Sholat witir yang lebih baik adalah dengan dua kali salam untuk tiga rokaat.
&   المجموع شرح المهذب (4/  12)
 فَإِنْ أَرَادَ جَمْعَهَا بِتَشَهُّدٍ وَاحِدٍ فِي آخِرِهَا كُلِّهَا جَازَ وَإِنْ أَرَادَهَا بِتَشَهُّدَيْنِ وَسَلَامٍ وَاحِدٍ يَجْلِسُ فِي الْآخِرَةِ وَاَلَّتِي قَبْلَهَا جَازَ
&   خلاصة الكلام ص 112
صلاةُ الوِتْرِ وَاجِبَةٌ عِنْدَ أبِى حَنِيْفَةَ وَسُنَّةٌ مُؤَكَّدَةٌ عِنْدَ غَيْرِهِ
&   بغية المسترشدين (ص: 18)
وفي ك : من شروط التقليد عدم التلفيق بحيث تتولد من تلفيقه حقيقة لا يقول بها كل من الإمامين ، قاله ابن حجر ، إذ لا فرق عنده بين أن يكون التلفيق في قضية أو قضيتين
&   المجموع شرح المهذب (4/  13)
فَفِي الْأَفْضَلِ أَوْجُهٌ الصَّحِيحُ أَنَّ الْأَفْضَلَ أَنْ يُصَلِّيَهَا مَفْصُولَةً بِسَلَامَيْنِ لِكَثْرَةِ الْأَحَادِيثِ الصَّحِيحَةِ فِيهِ وَلِكَثْرَةِ الْعِبَادَاتِ فَإِنَّهُ تَتَجَدَّدُ النِّيَّةُ وَدُعَاءُ التَّوَجُّهِ وَالدُّعَاءُ فِي آخِرِ الصَّلَاةِ وَالسَّلَامُ وَغَيْرُ ذَلِكَ
6.         Shalat Malam Setelah Melakukan Shalat Witir
Seseorang melakukan shalat sunah ba'da Isya kemudian diakhiri dengan melakukan shalat witir satu rekaat sebagai penutupnya. Pada malam hari ia bangun tidur dan melakukan shalat tahajud.
Pertanyaan: Apakah ia boleh melakukan shalat tahajjud padahal dia sudah menutup dengan shalat witir ? kalau boleh Apakah perlu orang tersebut melakukan shalat witir lagi, karena ia melakukan shalat sunah tahajud?
Jawab: Tetap boleh melakukan shalat malam lagi. Namun Orang yang sudah melakukan shalat witir setelah shalat Isya, kemudian malam harinya ia bangun dan shalat sunah tahajud, tidak boleh mengulangi witirnya lagi, karena terdapat hadits لَا وِتْرَانِ فِي لَيْلَةٍ.
&   حاشيتا قليوبي - وعميرة (3/  138)
( فَإِنْ أَوْتَرَ ثُمَّ تَهَجَّدَ لَمْ يُعِدْهُ ) لِحَدِيثِ { لَا وِتْرَانِ فِي لَيْلَةٍ } رَوَاهُ أَبُو دَاوُد وَغَيْرُهُ ، وَحَسَّنَهُ التِّرْمِذِيُّ .
&   حاشية إعانة الطالبين (1/  252) فوستاكا السلام سورابايا
(قوله: ولا يندب إعادته) أي لا تطلب إعادته، فإن أعاده بنية الوتر عامدا عالما حرم عليه ذلك، ولم ينعقد لخبر: لا وتران في ليلة

7.         Cewek Mengikuti Shalat ‘Ied
Bagaimana hukumnya seorang wanita mengikuti shalat ‘ied di musholla atau masjid ?
Jawaban :  Menurut kalangan Syafi’iyah Hukumnya sunnah bagi wanita tua dengan syarat sudah tidak menarik, tidak berhias dan mendapat izin dari suami. Dan hukumnya Makruh bagi wanita muda yang menarik dan menggairahkan
&   الحاوى الكبير ـ الماوردى (2/  1123)
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ : " وَأُحِبُّ حُضُورَ الْعَجَائِزِ غَيْرِ ذَاتِ الْهَيْئَةِ الْعِيدَيْنِ الجزء الثاني < 495 > وَأُحِبُّ إِذَا حَضَرَ النَّسَاءُ الْعِيدَيْنِ فما الذي ينبغي فعله لهن أَنْ يَتَنَظَّفْنَ بِالْمَاءِ وَلَا يَلْبَسْنَ شُهْرَةً مِنَ الثِّيَابِ وَتُزَيَّنُ الصِّبْيَانُ بِالصَّبْغِ وَالْحُلِيِّ " .قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ : هَذَا صَحِيحٌ يُسْتَحَبُّ لِلْعَجَائِزِ الْمُسِنَّاتِ غَيْرِ ذَوَاتِ الْهَيْئَاتِ أَنْ يَحْضُرْنَ صَلَاةَ الْعِيدِ ، لِقَوْلِهِ {صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ} لَا تَحْرِمُوا إِمَاءَ اللَّهِ مَسَاجِدَ اللَّهِ وَلْتَخْرُجْنَ تَفِلَاتٍ . وَرَوَى جَابِرٌ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ {صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ} لَمَّا فَرَغَ مِنْ خُطْبَتِهِ جَاءَ إِلَى النِّسَاءِ مَاشِيًا مُتَّكِئًا عَلَى قَوْسٍ ، فَوَقَفَ عَلَيْهِنَّ فَوَعَظَهُنَّ وَذَكَّرَهُنَّ اللَّهَ تَعَالَى ، وَحَثَّهُنَّ عَلَى الصَّدَقَةِ ، قَالَ جَابِرٌ : فَتَصَدَّقَتْ هَذِهِ بِثَوْبِهَا وَهَذِهِ بِبَعْضِ حُلِيِّهَا وَهَذِهِ بِبَعْضِ مَا سَنَحَ لَهَا فَأَمَّا حُضُورُ النِّسَاءِ الشَّبَابِ صلاة العيد فَقَدِ اسْتَحَبَّهُ بَعْضُ أَصْحَابِنَا الْبَغْدَادِيِّينَ تَعَلُّقًا بِحَدِيثِ أُمِّ عَطِيَّةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ {صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ} أَمَرَ بِإِخْرَاجِ الْمُخَدَّرَاتِ إِلَى الْمُصَلَّى فَقِيلَ : إِنَّهُنَّ يَحِضْنَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ {صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ} : لِيَشْهَدْنَ الدُّعَاءَ وَالْخَيْرَ ، وَهَذَا غَلَطٌ ، بَلْ خُرُوجُهُنَّ مَكْرُوهٌ ، لِمَا يُخَافُ مِنَ افْتِتَانِهِنَّ بِالرِّجَالِ ، وَافْتِتَانِ الرِّجَالِ بِهِنَّ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hukum Adzan Duet

bagaimana hukum adzan yang dilakukan oleh dua orang secara bergantian atau duet seperti dalam vidio dilink ini https://web.facebook.co...