Hukum dan Cara Menghitung Zakat Tijarah
* Dasar kewajiban Zakat Tijarah
Kewajiban zakat tijarah ditetapkan berdasarkan keterangan-keterangan sebagai berikut:
A. Alquran
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنْ الْأَرْضِ …
Hai orang-orang yang beriman infaqkanlah sebagian dari hasil usaha kamu yang baik…Q.s. Al-Baqarah:267
Mujahid berkata, tentang firman Allah min thayyibati ma kasabtum, “maksudnya adalah dari tijarah” Tafsir at-Thabari, V:555
B. Hadis Nabi saw.
1. Rasulullah saw. pernah mengutus petugas penarik zakat. Salah seorang pedagang tidak membayar zakat, yaitu Khalid bin Walid yang berdagang alat-alat perang. Hal itu disampaikan kepada Rasulullah saw. Maka beliau bersabda:
…أَمَّا خَالِدٌ فَإِنَّكُمْ تَظْلِمُونَ خَالِدًا قَدِ احْتَبَسَ أَدْرَاعَهُ وَأَعْتُدَهُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
…Adapun Khalid, maka sesungguhnya kamu hendak menganiayanya, sungguh ia telah wakafkan baju-baju besi dan alat-alat perangnya di jalan Allah…H.r. Al-Bukhari
Hadis ini menunjukkan dua hal:
a. Perdagangan itu dikenai kewajiban zakat.
b. Barang yang telah diwakafkan itu tidak dikenai zakat tijarah.
2. Diriwayatkan oleh Abu Daud dari Samurah bin Jundab yang mengatakan:
فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْمُرُنَا أَنْ نُخْرِجَ الصَّدَقَةَ مِنِ الَّذِي نُعِدُّ لِلْبَيْعِ
Sesungguhnya Rasulullah saw. memerintah kita untuk mengeluarkan zakat dari barang-barang yang kita sediakan untukjual-beli.”[1]
3. Riwayat Himas yang mengatakan
مَرَرْتُ بِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ وَعَلَى عُنُقِيْ أَدَمَةٌ أَحْمِلُهَا فَقَالَ عُمَرُ أَلاَّ تُؤَدِّيَ زَكَاتَكَ يَا حِمَاسُ؟ فَقُلْتُ يَا أَمِيْرَ الْمُؤْمِنِيْنَ مَالِيْ غَيْرُ هذِهِ الَّتِى عَلَى ظَهْرِيْ وآهِبَةٌ فِي الْقَرَظِ فَقَالَ ذَاكَ مَالٌ فَضَعْ قَالَ فَوَضَعْتُهَا بَيْنَ يَدَيْهِ فَحَسَبَهَا فَوَجَدَهَا قَدْ وَجَبَتْ فِيْهَا الزَّكَاةُ فَأَخَذَ فِيْهَا الزَّكَاةَ.
Aku lewat kepada Umar bin Khatab, sedang pada pundaku kulit-kulit yang aku pikul. Umar bertanya, ‘Sudahkan engkau keluarkan zakatnya wahai Hammas? Aku bertanya, ‘Wahai Amirul mukminin, saya tidak mempunyai barang dagangan selain yang ada pada pundaku ini dan beberapa kulit mentah yang sedang disamak’ Maka Umar berkata, ‘Itulah barang dagangan, letakanlah! Lalu aku meletakan dihadapannya, lalu menghitunya, lalu beliau dapatkan harta itu telah wajib dikeluarkan zakatnya, lalu beliau mengambilnya.’” H.r. Asy-Syafi’i, Al-Um, II:46. [2]
4. Diriwayatkan oleh Ibnu Abdul Barr dari Ibnu Umar yang mengatakan:
كُلُّ مَالٍ أَوْ رَقِيْقٍ أَوْ دَوَابٍ أُدِيْرَ للتِّجَارَةِ فَفِيْهِ الزَّكَاةُ
Dari Ibnu Umar, sesungguhnya ia berkata, “Setiap harta atau hamba sahaya atau binatang ternak yang diputarkan (sebagai modal) untuk tijarah, maka wajib zakat” H.r. Ibnu Abdul Barr, al-Istidzkar, IX:116
Keterangan-keterangan di atas menunjukkan bahwa zakat tijarah itu hukumnya wajib.
Ketentuan Zakat tijarah
Sebagian ulama berpendapat bahwa zakat tijarah itu wajib dikeluarkan apabila telah mencapai nishab (standar jumlah minimal wajib zakat) dan haul (standar jatuh tempo wajib zakat), sebagaimana harta lainnya, yaitu 20 dinar atau seharga 90 gram emas murni serta sesudah dagangannya berumur satu tahun. Namun pendapat ini tidak berlandaskan dalil yang memadai. Karena itu kami berpendapat bahwa pada zakat tijarah tidak ada ketentuan nishab dan haul. Sehubungan dengan itu kita kaji kembali keterangan Himas di atas. Dalam riwayat itu Himas mengatakan:
يَا أَمِيْرَ الْمُؤْمِنِيْنَ مَالِيْ غَيْرُ هذِهِ الَّتِى عَلَى ظَهْرِيْ وآهِبَةٌ فِي الْقَرَظِ
‘Wahai Amirul mukminin, saya tidak mempunyai barang dagangan selain yang ada pada pundaku ini dan beberapa kulit mentah yang sedang disamak’
Pada pernyataan di atas terlihat bahwa kulit yang bisa dipikul di atas pundak tentu ringan timbangannya, nilainya tidak akan seharga 20 Dinar, karena harga kulit pada waktu itu murah. Hal itu tampak jelas ketika Rasul menyuruh Urwah al-Bariqi membeli kambing hanya dengan satu dinar saja ia dapat dua ekor. Dengan demikian kita dapat mengetahui harga kulit yang dipikul Himas itu tidak akan mencapai harga 20 Dinar. Waktu Umar bertanya tentang zakat kulit yang dipikul itu (yang dipersiapkan untuk didagangkan), Himas merasa bahwa kulit itu tidak banyak. Dengan demikian, hemat kami riwayat di atas menunjukkan tidak ada nishab dalam zakat tijarah, sebab meskipun dagangan yang dipikul Himas itu tidak mencapai nishab tetap ditarik zakatnya oleh Umar. Hal itu tampak jelas dalam pernyataan Umar:
ذَاكَ مَالٌ فَضَعْ
‘Itulah barang dagangan, letakanlah!
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa Himas dikenai zakat tijarah karena ia mempunyai barang dagangan, bukan disebabkan nisabnya. Adapun kalimat
فَحَسَبَهَا فَوَجَدَهَا قَدْ وَجَبَتْ فِيْهَا الزَّكَاةُ
“Lalu menghitunya, lalu beliau dapatkan harta itu telah wajib dikeluarkan zakatnya”
Bukan menghitung nisab, melainkan menghitung nilai barang dan nilai zakat yang harus dikeluarkan. Karena dalam riwayat lain dengan redaksi
فَأَقَامَهَا ثُمَّ أَخَذَ صَدَقَتَهَا مِنْ قَبْلِ أَنْ تُبَاعَ
“Lalu Umar menghitung nilainya, kemudian menarik zakatnya sebelum barang itu dijual” H.r. Ibnu Abdul Barr, at-Tamhid, XVII:131-132. Dalam redaksi lain:
قَوِّمْهُ وَأَدِّ زَكَاتَهُ
“Hitung nilainya dan keluarkan zakatnya” H.r. Ibnu Abu Syaibah, al-Mushannaf, III:74, dan Ibnu Abdul Barr, at-Tamhid, XVII:132.
Demikian pula tidak ada haul dalam zakat tijarah. karena Himas diperintah atau ditagih zakat tijarah bukan karena haulnya, melainkan karena hukum wadh’i-nya, yaitu mempunyai barang dagangan. Dengan demikian pedagang yang bermodal kecil dan besar sama-sama terkena kewajiban zakat tijarah. Adapun waktu pembayaran/pengeluaran zakatnya tidak ditetapkan oleh syariat, sebab zakat tijarah termasuk zakat yang muthlaq ‘an zamanil ada, yakni tidak terikat waktu pembayarannya. Karena itu, dipersilahkan untuk dikeluarkan perhari, perminggu, perbulan, pertahun dan seterusnya tergantung kepada kemaslahatan. Seperti khalifah Umar bin Abdul Aziz yang biasa memungut zakat tijrah ketika barang-barang perdagangan masuk ke negeri itu.
Prosentase Zakat Tijarah
Adapun mengenai prosentasenya adalah 2 ½ %, hal ini sejalan dengan perintah Khalifah Umar bin Abdul Aziz dalam suratnya kepada Ruzaiq bin Hakim
أَنِ انْظُرْ مَنْ مَرَّ بِكَ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ فَخُذْ مِمَّا ظَهَرَ مِنْ أَمْوَالِهِمْ مِنَ التِّجَارَةِ مِنْ كُلِّ أَرْبَعِيْنَ دِيْنَارًا دِيْنَارًا فَمَا نَقَصَ فَبِحِسَابِ ذلِكَ – رواه الشافعي-
Lihatlah siapa saja yang lewat kepadamu dari kalangan muslimin, ambillah apa-apa yang nampak pada mereka dari harta perdagangan, dari setiap empat puluh (40) dinar 1 (satu) dinar, dan apa-apa yang kurang darinya, maka dengan perhitungannya. H.r. Asy-Syafi’i, Al-Umm, II:46
Menghitung Zakat tijarah
Terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama mengenai, apakah zakat tijarah itu diambil dari modal seluruhnya, modal yang dibelanjakan, dari harga beli barang ataukah dari harga barang yang telah terjual, atau dari laba? K.H.E Abdurrahman berpendapat, “Dalam hal ini kita berpedoman kepada hadis yang menyatakan: Kami diperintah mengeluarkan zakat dari apa-apa yang disediakan untuk dijualbelikan alias dagang. Karenanya menghitung zakat dagangan itu dari barangnya (modalnya). Adapun laba atau keuntungan bebas dari zakat, tidak bebas dari infak. Contohnya: orang yang berjualan ikan, maka ikan yang akan dijual itu diambil 2 1/2 % untuk zakatnya, berupa ikan atau dengan harga uang pada masa itu” (Lihat, Kumpulan Istifta K.H.E Abdurrahman, II:132)
Dewan Hisbah Persatuan Islam pada sidang ke-5 tahun 1991 memutuskan (fatwa lama) bahwa “Tijarah (perdagangan), tidak ada nishab dan haul, diambil dari modal (harga beli), besarnya 2,5 %” Sedangkan pada sidang ke-4 tahun 2002 memutuskan (fatwa baru) bahwa “Zakat tijarah diambil 2,5 % dari harga barang yang telah terjual”
Ketiga fatwa tersebut ditetapkan berdasarkan dalil yang sama sebagai berikut:
1. riwayat Abu Daud dari Samurah bin Jundab yang mengatakan:
فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْمُرُنَا أَنْ نُخْرِجَ الصَّدَقَةَ مِنِ الَّذِي نُعِدُّ لِلْبَيْعِ
Sesungguhnya Rasulullah saw. memerintah kita untuk mengeluarkan zakat dari barang-barang yang kita sediakan untukjual-beli.”
قوله: (كان يأمرنا أن نخرج الصدقة) أي الزكاة الواجبة (من الذي) أي المال الذي (نعده) بضم النون وكسر العين المهملة من الأعداد أي نهيئه (للبيع) أي للتجارة وخص لأنه الأغلب. قال الطيبي: وفيه دليل على أن ما ينوي به القنية لا زكاة فيه – انتهى. قلت: الحديث دليل ظاهر على وجوب الزكاة في مال التجارة، لأن قول الراوي يأمرنا يفهم أنه – صلى الله عليه وسلم – كان يأتي بصيغة تفيد الأمر، والأصل فيه الوجوب وهي قرينة على حمل الصدقة على الزكاة الواجبة. واختلف العلماء في ذلك: قال ابن رشد في البداية: (ص230) اتفقوا على أن لا زكاة في العروض التي لم يقصد بها التجارة، واختلفوا في إيجاب الزكاة فيما اتخذ منها للتجارة – 6: 173 – مرعاة المفاتيح 6: 173 –
2. Riwayat as-Syafi’i dan Ibnu Abdil Barr dari Himas yang mengatakan:
مَرَرْتُ بِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ وَعَلَى عُنُقِيْ أَدَمَةٌ أَحْمِلُهَا فَقَالَ عُمَرُ أَلاَّ تُؤَدِّيَ زَكَاتَكَ يَا حَمَّاسُ؟ فَقُلْتُ يَا أَمِيْرَ الْمُؤْمِنِيْنَ مَالِيْ غَيْرُ هذِهِ الَّتِى عَلَى ظَهْرِيْ واهبة في القرظ فَقَالَ ذَاكَ مَالٌ فَضَعْ قَالَ فَوَضَعْتُهَا بَيْنَ يَدَيْهِ فَحَسَبَهَا فَوَجَدَهَا قَدْ وَجَبَتْ فِيْهَا الزَّكَاةُ فَأَخَذَ فِيْهَا الزَّكَاةَ.
Aku lewat kepada Umar bin Khatab, sedang pada pundaku kulit-kulit yang aku pikul. Umar bertanya, ‘Sudahkan engkau keluarkan zakatnya wahai Hammas? Aku bertanya, ‘Wahai Amirul mukminin, saya tidak mempunyai barang dagangan selain yang ada pada pundaku ini dan beberapa kulit mentah yang sedang disamak’ Maka Umar berkata, ‘Itulah barang dagangan, letakanlah! Lalu aku meletakan dihadapannya, lalu menghitunya, lalu beliau dapatkan harta itu telah wajib dikeluarkan zakatnya, lalu beliau mengambilnya.’” H.r. Asy-Syafi’i, Al-Um, 2:46
Dalam riwayat Ibnu Abdil Barr dengan redaksi
…ثُمَّ أَخَذَ صَدَقَتَهَا مِنْ قَبْلِ أَنْ تُبَاعَ
…Kemudian ia (Umar) mengambil zakatnya sebelum kulit itu dijual. At-Tamhid, XVII:131
Adapun pendapat yang menyatakan bahwa zakat itu dikeluarkan/dihitung dari laba bersih sama sekali tidak berdasarkan dalil.
[1]Pembahasan status hadis tentang zakat dihitung dari modal dapat dibaca pada lampiran
[2]Pembahasan status hadis Himas dapat dibaca pada lampiran
------------------
------------------
Pengertian Tijarah Sebagaimana yang telah disebutkan diatas bahwa kata tijarah menunjukkan dua pengertian; Pertama, aktivitas jual-beli (dagang). Kedua, komoditas (barang dagangan). Dalam konteks zakat, yang dimaksud dengan zakat tijarah adalah zakat yang berkaitan dengan komoditas bukan aktivitas. Dalam perkataan lain, menzakati mal (barang dagangan) bukan amal (aktivitas dagang). Bila demikian halnya apa yang dimaksud dengan barang dagangan (‘urudh at-tijarah) itu? Imam An-Nawawi mengatakan, “Kekayaan dagang adalah semua yang dimaksudkan untuk diperdagangkan buat pemindahan hak dengan melakukan tukar-menukar barang” Lihat, Fiqhuz Zakat, I:313.
Arti Kata tijarah (perniagaan) secara dalam bahasa merupakan mashdar (akar kata) bagi tajara – yatjuru. Secara bahasa istilah terdapat sebuah perbedaan orientasi(penerimaan).
Kata تِجَارَةٌ (tijarah) secara bahasa merupakan mashdar (dasar kata) bagi تَجَرَ يَتْجُرُ (tajara – yatjuru). Sedangkan pengertian secara Syariat adalah التَّصَرُّفُ فِي رَأْسِ الْمَالِ طَلَبًا لِلرِّبْحِ ( mengelola modal untuk mencari laba ”. [ Di dalam kitab –kitab fiqh di sebut juga dengan nama bab بَابُ زَكَاةِ العُرُوضِ (zakat al uruudh) ,zakat barang-barang dagangan. Yaitu barang-barang (harta) yang dipersiapkan untuk di perdagangkan. Di karenakan barang-barang tersebut tidak diam begitu saja lalu habis, dan pedagangnya yang sebenarnya tidak menginginkan dzat barang itu sendiri tetapi dia hanya menginginkan laba darinya, oleh sebab itu di wajibkan atasnya zakat karena qimah-nya (nilai barang),bukan sebab dzat barang itu sendiri.
Karena zakat ini berhubungan dengan barang-barang dagangan (perniagan), maka dalam hal yang mencakup tentang ini bisa mencakup jenis barang apa saja ( yang halal ) selama niatnya untuk di dagangkan, misalkan : barang-barang tidak bergerak semisal rumah, tanah, perabotan, atau jenis peralatan dapur, hewan,mobil,kain dan lain sebagainya yang di perdagangkan.
Hukum mengenai Zakat Tijarah
Kebanyakan para Ulama’ berpendapat wajibnya zakat tijarah, berdasarkan dalil-dalil berikut ini.
Firman Allah I :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik.”(Al Baqarah 267)
Ibnu Katsir ? menafsirkan kalimat كَسَبْ dalam ayat ini dengan perkataan Mujahid t yaitu perdagangan.
Juga dalam Firman Allah I :
وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ
“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.” (Ad Dariyaat-19).
Rasulullah pernah berkata pada Muadz bin Jabal t ketika mengutusnya ke Yaman:
فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدِ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِى أَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ فِى فُقَرَائِهِمْ
“Ajarkan kepada mereka bahwasannya Allah I mewajibkan atas mereka untuk mengeluarkan zakat dari harta-harta mereka, yang diambil dari orang-orang kayanya untuk di berikan kepada orang-orang fakirnya.”[3].
Pada ucapan Beliau r في أموالهم (dari harta-harta mereka) tidak diragukan lagi bahwa harta tersebut adalah harta dari dari perdagangan.[4]
Dalil dari Hadits dari Samurah bin Jundab t mengatakan:
فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْمُرُنَا أَنْ نُخْرِجَ الصَّدَقَةَ مِنِ الَّذِي نُعِدُّ لِلْبَيْعِ
“Sesungguhnya Rasulullah r. memerintah kita untuk mengeluarkan zakat dari barang-barang yang kita sediakan untuk jual-beli.”
Tetapi dalam Hadits ini ada kelemahan.
Demikian juga telah tetap dari Umar bin al Khaththab ketika beliau memerintahkan seseorang dengan berkata :
عَنْ أَبِي عَمْرِو بْنِ حِمَاسٍ عَنْ أَبِيْهِ قال : مَرَّ بِيْ عُمَرُ فَقَالَ يا حِمَاس أدِّ زَكَاةَ مَالِكَ فَقُلْتُ : مَالِيْ مَالٌ إِلاَّ جِعَابٌ وَ أُدُم ! فَقَالَ : قَوِّمْهَا قِيْمَةًثُمَّ أدِّ زَكَاتَهَا
"Dari Abi ‘Amr bin Himas dari bapaknya: "Pada suatu hari Umar melewatiku, lalu berkata: “Hai Himas tunaikan zakat hartamu!”. Aku menjawab: “Aku tidak punya harta kecuali kulit dan tempat panah”. Umar berkata: “Taksirlah nilainya lalu tunaikanlah zakat!" [6]
Demikian pula Atsar dari Abdurrahman bin Abdul Qari’ t :
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدِ القَارِي قَالَ : كُنْتُ عَلَى بَيْتِ الْمَالِ زَمَانَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فَكَانَ إِذَا خَرَجَ الْعَطَاءُ جَمَعَ أَمْوَالَ التُجَّارِ ثُمَّ حَسَبَهَا
غَائِبَهَا وَ شَاهِدَهَا ثُمَّ أَخَذَ الزَّكَاةَ مِنْ شَاهِدِ الْمَالِ عَنْ الْغَائِبِ وَالشَّاهِدِ
"Aku adalah bendahara baitul maal pada masa Umar bin Khattab, maka jika beliau mengeluarkan pemberian, beliau mengumpulkan harta para pedagang, kemudian menghitung baik yang pedagangnya sedang bepergian, maupun yang muqim lalu mengambil zakat tersebut ". [7]
Syarat dan Ketentuan Zakat Tijarah
Yang perlu kita ketahui di dalam hal yang meyangkut zakat tijarah yaitu adanya beberapa syarat dan ketentuan diantaranya :
1. Di dalam hal kepemilikan barang harus dengan perbuatannya, yaitu dengan pilihannya sendiri. Maka dalam hal ini tidak termasuk darinya dari penerimaan pemberian atau hadiah dan lain sebagainya yang diluar kehendaknya.
2. Di dalam memiliki barang dari awalnya sudah diniatkan untuk di perdagangkan(karena niat ada hal yang terpenting di dalam ajaran agama islam ) . Sehingga brang tersebut tidak termasuk bagi yang membeli barang yang dari awal tidak niat ingin di perdagangkan lalu setelah beberapa lama muncul niatan untuk di perdagangkan. Yang seperti ini tidak wajib zakat menurut pendapat yang masyhur dari beberapa madzhab.
3. Barang tersebut sudah mencapai nishab yaitu setara dengan harga 85 Kg emas.
4. Sudah berjalan satu haul ( tahun ).
5. Di keluarkan 2,5 % dari harta yang terkena wajib zakat.
6. Bisa dikeluarkan dalam bentuk barang dan uang. Tapi di keluarkan dalam bentuk uang, ini pendapat yang masyhur dari Imam As Syafi’iy dan Imam Ahmad, karena di nilai lebih bermanfaat bagi penerima zakat.
Cara Menghitung Zakat Tijarah
Yang pertama kali ialah l pastikan harta + modal dagangan kita sudah mencapai nishab yaitu setara dengan nilai 85 gram emas. Misalkan harga emas saat ini Rp. 500.000/gram maka nishab minimal terkena zakat adalah Rp. 42.500.000. Jika ternyata harta dagang kita sudah senilai nishab maka catatlah tanggal dan tahunnya.
Jika pada tanggal yang sama di tahun berikutnya harta tersebut tetap atau bertambah nilainya, maka wajib dikeluarkan zakatnya 2,5% setelah di potong hutang.
Untuk lebih mudahnya kita menggunakan rumus :
{Harta dagangan (modal yang diputar) + piutang lancar – Hutang} x 2.5 % = Nilai zakat.
Misal : Harta dagangan (modal yang diputar) = Rp.50.000.000
Piutang lancar = Rp.10.000.000
Hutang yang harus di bayar = Rp. 5000.000
Maka nilai zakat yang di keluarkan adalah :
(Rp. 50.000.000 + Rp. 10.000.000)- Rp. 5000.000 x 2,5 % = Rp. 1.375.000
Perlu diperhatikan di dalam cara pengitungan zakat tijarah :
1. Piutang yang di syaratkan adalah piutang yang lancar, sedangkan untuk piutang yang tidak lancar maka tidak termasuk didalamnya.
2. Bahwa bangunan, perabotan dan peralatan yang tidak disiapkan untuk jualan tidak dimasukkan dalam perhitungan aset yang dikeluarkan zakatnya.
3. Zakat tijarah ini berlaku untuk beberapa jenis bidang usaha, baik yang bergerak di bidang perdagangan, industri, agroindustri, ataupun jasa, dikelola secara individu maupun badan usaha seperti PT, CV, Koperasi, dan lain sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar